Meraih Berkah
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 2 October 2010
Segala puji bagi Allah, Maha Pemberi Keberkahan. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian
kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun
dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap
berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi.
Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara
meraihnya. Sudah sepatutnya kita bisa mendalami hal ini.
Makna Barokah
Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga
bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan
seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk
meraup berkah atau “ngalap berkah”.
Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya
kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna
kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan
kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan
kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan
karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut
adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan.
Inilah hakikat barokah”.[3]
Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah
Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang
lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa
seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي
الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ
تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
”Katakanlah: “Wahai
Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu”
(QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah
segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat
mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah.[4]
Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
“Seluruh kebaikan di
tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)
Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya
disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal
dari Allah. Dan nikmat ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang
menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat
yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali
Imron: 73).
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).
Kita telah mengetahui bahwa setiap
kebaikan dan nikmat, itu berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan
barokah. Maka ini menunjukkan bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan
berasal dari Allah semata.[5]
Berbagai Keberkahan yang Halal
Setelah kita mengerti dengan penjelasan
di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini.
Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan
oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah
sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.
Perlu diketahui bahwa keberkahan yang
halal bisa ada dalam hal diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari
keduanya. Contoh yang mencakup keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus
adalah keberkahan pada Al Qur’an Al Karim, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Keberkahan
seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan bulan Ramadhan,
keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja semisal pada tiga
masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqsho.
Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan pada air hujan,
pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan hewan ternak.[6]
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan.
Keberkahan yang halal di atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang
menunjukkannya, kadang pula dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari
kebaikan yang amat banyak yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal
duniawiyah bisa diperoleh jika digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika
digunakan bukan pada ketaatan, itu bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[7]
Contoh Ngalap Berkah yang Halal
Kami contohkan misalnya keberkahan orang
sholih, yaitu orang yang sholih secara lahir dan batin[8], selalu menunaikan
hak-hak Allah. Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan
agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia
yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara[9].
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا
يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka jika datang
kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia
tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS.
Thoha: 123).
Keberkahan orang sholih pun terdapat pada
usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di
tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah
keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya para
ulama adalah pewaris para nabi”.[10]
Keberkahan juga bisa diperoleh jika
seseorang berlaku jujur dalam jual beli. Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu
‘alaihi
wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا
وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ
بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Orang yang
bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau
melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan
terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika
keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya
akan hilang”.[11]
Ketika seseorang mencari harta dengan
tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ
يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai Hakim,
sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk
kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan
memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta
itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang.
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”[12] Yang dimaksud dengan kedermawanan
dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak
mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari
orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut
dengan hati yang lapang.[13]
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan
selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan
keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak
mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.”[14]
Begitu pula keberkahan dapat diperoleh
dengan berpagi-pagi dalam mencari rizki. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah,
berkahilah umatku di waktu paginya.”
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim
peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi
hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang
dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak
harta.[15]
Ngalap Berkah yang Keliru
Ngalap berkah yang keliru di sini karena
tidak ada dasar pegangan dalil yang kuat di dalamnya. Di sini kami akan
contohkan beberapa hal yang termasuk ngalap berkah yang keliru.
Pertama: Tabarruk dengan Nabi shallallahu
‘alaihi
wa sallam setelah beliau wafat.
Di antara yang terlarang adalah tabaruk
dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai
rasul, berdo’alah
kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di
dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa
mengabulkannya.[16]
Juga yang termasuk keliru adalah
mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengambil berkah
dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa
barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para
sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap
atau mencium kubur tersebut.”[17] Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap
dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”.[18]
Kedua: Tabarruk dengan orang sholih
setelah wafatnya.
Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja tidak diperkenankan tabarruk dengan kubur beliau dengan mencium
atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih,
kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak
diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut
dengan do’a
“wahai
pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”,
“wahai
Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai
wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan
seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa
mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah
terjatuh pada kesyirikan.
Begitu pula yang keliru, jika tabarruk
tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk
berdo’a
kepada Allah agar mendo’akan dirinya.
Ketiga: Tabarruk dengan pohon, batu dan
benda lainnya.
Ngalap berkah dengan benda-benda semacam
ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan
kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang
tercela dan sebab terjadinya kesyirikan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun
pohon, bebatuan dan benda lainnya … yang dinama dijadikan tabarruk atau
diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah
perkara bid’ah
yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.”[19]
Perbuatan-perbuatan di atas adalah
termasuk perbuatan ghuluw terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap
yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau
wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada
orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap
ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk
yang benar.
Penutup
Dari penjelasan di atas, sebenarnya
banyak sekali jalan untuk meraih keberkahan atau ngalap berkah yang dibenarkan.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mencukupkan dengan hal itu saja tanpa
mencari berkah lewat jalan yang keliru, bid’ah atau bernilai kesyirikan.
Carilah keberkahan dengan beriman dengan bertakwa pada Allah. Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita
berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun di Panggang-GK, 27 Sya’ban 1431 H (7 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]
Lihat Mu’jam
Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris, 1/227-228 dan
1/230.
Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26.
[2]
Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.
[3]
Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
Darul ‘Urubah
Kuwait, cetakan kedua, 1407, hal. 308.
[4]
Jaami’ul
Bayan fii Ta’wilil
Qur’an,
Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420, 6/301,
[5]
Lihat At Tabarruk, hal. 15-17.
[6]
Lihat At Tabarruk, hal. 44.
[7]
Lihat At Tabarruk, hal. 44.
[8]
Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 2/127.
[9]
Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan surat Thoha ayat 123 dalamm Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 9/376-377.
[10]
HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[11]
HR. Bukhari no. 2079
dan Muslim no. 1532
[12]
HR. Bukhari no. 1472.
[13]
Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379 H, 3/336.
[14]
Syarh Ibni Batthol, Asy Syamilah, 6/48.
[15]
HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[16]
Lihat At Tabaruk, hal. 325.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan.