Nikmat Allah Yang Hakiki
Mungkin ada sebagian di
antara kita yang berangan-angan agar besok dapat hidup mewah dan
berkecukupan. Memiliki mobil dan rumah mewah serta uang yang banyak
sehingga dapat membeli apa saja yang kita inginkan. Kita pun menyangka
bahwa kenikmatan itulah yang akan membuat hidup kita senang dan bahagia.
Akan tetapi, benarkah demikian? Sama sekali tidak. Bahkan banyak di
antara orang-orang kaya yang merasa hidupnya tidak bahagia. Hatinya
merasa sempit, tidak tenang, tenteram, dan damai. Lalu apakah nikmat Allah yang hakiki itu, yang akan membuat hidup kita ini bahagia?
Nikmat Allah yang Hakiki
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Nikmat
itu ada dua, nikmat muthlaqoh (mutlak) dan (nikmat) muqoyyadah (nisbi).
Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan
yang abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Nikmat
inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam
doa kita, agar Allah menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang
Allah karuniakan nikmat itu padanya.” [1]
Dari keterangan singkat Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, maka jelaslah bagi kita tentang, ”Apakah nikmat Allah yang hakiki itu?”. Nikmat Allah yang hakiki itu tidak lain dan tidak bukan adalah ketika Allah Ta’ala
memberikan hidayah kepada kita sehingga kita dapat mengenal Islam dan
Sunnah serta mengamalkannya. Kita dapat mengenal tauhid, kemudian
mengamalkannya dan dapat membedakan dari lawannya, yaitu syirik, untuk
menjauhinya. Kita dapat mengenal dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan
dapat membedakan dan menjauhi lawannya, yaitu bid’ah. Kita pun dapat
mengenal dan membedakan, mana yang termasuk ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan manakah yang maksiat?
Nikmat ini hanya Allah Ta’ala berikan khusus kepada
hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Dengan nikmat inilah kita dapat
meraih surga beserta segala kemewahan di dalamnya. Oleh karena itu,
ketika shalat kita selalu berdoa,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (QS. Al Fatihah [1]: 6-7).
Bersyukur atas Nikmat Ilmu dan Amal Shalih
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk bergembira dan
berbahagia dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah Dia berikan kepada
manusia, berupa ilmu dan amal shalih. Allah juga mengabarkan bahwa keduanya itu lebih baik dari apa yang telah kita kumpulkan di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
”Katakanlah,’Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu
adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’”. (QS. Yunus [10]: 58)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” dalam ayat di atas adalah Al Qur’an,
yang merupakan nikmat dan karunia Allah yang paling besar serta
keutamaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud
dengan “rahmat-Nya” adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari apa yang kita kumpulkan berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. [2]
Di dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” adalah Islam, sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah Al-Qur’an. [3]
Al-Qur’an dan iman (Islam) ini tidak lain dan tidak bukan adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Iman dan Al Qur’an, keduanya adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar serta ilmu dan amal yang paling utama.” [4]
Ilmu dan amal shalih inilah yang merupakan sumber
kebahagiaan hidup kita. Karena kebahagiaan yang hakiki adalah
kebahagiaan jiwa, kebahagiaan ruh dan hati. Kebahagiaan itu tidak lain
adalah kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Itulah
kebahagiaan abadi dalam seluruh keadaan kita. Kebahagiaan ilmu-lah yang
akan menemani seorang hamba dalam seluruh perjalanan hidupnya di tiga
negeri, yaitu negeri dunia, negeri barzakh (alam kubur), dan negeri
akhirat.
Jalan Menuju Kenikmatan
Kenikmatan yang hakiki sebagaimana penjelasan di atas
tidaklah mungkin kita raih kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu syar’i (ilmu agama). Hanya dengan menuntut ilmu syar’i
kita dapat mengenal Islam ini dengan benar kemudian dapat
mengamalkannya. Tidak mungkin kita dapat mengenal mana yang tauhid dan
mana yang syirik, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah atau mana yang
taat dan mana yang maksiat kecuali dengan menuntut ilmu syar’i. Karena
pada asalnya, manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak mengerti
apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا
تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl [16]: 78)
Tidak ada cara lain untuk mengangkat kebodohan ini dari
dalam diri kita kecuali dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Karena
ilmu tidak akan pernah mendatangi kita, namun kita-lah yang harus
mencari dan mendatanginya. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Tidak ada suatu amal pun yang sebanding dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Orang-orang pun bertanya,”Bagaimana niat yang benar itu?”. Imam Ahmad rahimahullah menjawab,”Seseorang berniat untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan dari selainnya.” [5]
Ketika Allah memberikan hidayah kepada kita untuk
bersemangat dan konsisten dalam menuntut ilmu syar’i dengan rajin
membaca buku agama atau kitab-kitab para ulama atau rajin menghadiri
majelis-majelis ilmu (pengajian) di masjid-masjid atau pun di tempat
lainnya, maka ini adalah tanda bahwa Allah benar-benar menghendaki
kebaikan untuk kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” [6]
Nikmat Harta = Nikmat yang Nisbi
Dan sebaliknya, perlu kita ketahui bersama bahwa nikmat
harta yang Allah Ta’ala berikan kepada kita bukanlah tanda bahwa Allah
Ta’ala mencintai kita. Karena nikmat berupa harta tersebut juga Allah
Ta’ala berikan kepada hamba-hambaNya yang musyrik dan kafir. Bahkan bisa
jadi orang-orang kafir itu lebih banyak hartanya daripada kita. Oleh
karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebut nikmat harta ini
sebagai suatu kenikmatan yang sifatnya nisbi semata, tidak mutlak.
Demikian pula nikmat-nikmat lain seperti badan yang sehat, kedudukan
yang tinggi di dunia, banyaknya anak dan istri yang cantik. [7]
Bahkan bisa jadi kenikmatan berupa harta ini adalah bentuk istidroj (tipuan
atau hukuman) dari Allah sehingga manusia semakin tersesat dan semakin
menjauh dari jalan-Nya yang lurus. Atau bisa jadi merupakan bentuk ujian
dari Allah kepada manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ketika nikmat
yang sifatnya nisbi merupakan suatu bentuk istidroj bagi orang kafir
yang dapat menjerumuskannya ke dalam hukuman dan adzab, maka nikmat itu
seolah-olah bukanlah suatu kenikmatan. Nikmat itu justru merupakan ujian
sebagaimana istilah yang Allah berikan di dalam kitab-Nya. Allah Ta’ala
berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ
فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا
مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
(16) كَلَّا
’Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
maka dia berkata,’Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata,’Tuhanku
menghinakanku’. Sekali-kali tidak!’ (QS. Al Fajr [89]: 15-17)
Maksudnya, tidaklah setiap yang dimuliakan dan diberi
nikmat oleh Allah di dunia berarti Allah benar-benar memberikan nikmat
kepadanya. Bisa jadi hal itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi
manusia. Dan tidaklah setiap yang Allah sempitkan rizkinya, dengan
memberinya rizki sekadar kebutuhannya dan tidak dilebihkan, berarti
Allah menghinakannya. Tetapi Allah menguji hambaNya dengan kenikmatan
sebagaimana Allah juga menguji hambaNya dengan kesulitan.” [8]
Oleh karena itu, marilah kita meng-introspeksi diri
kita masing-masing. Setiap hari kita banyak berbuat maksiat dan
kedurhakaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, namun sedikit sekali kita
melakukan amal shalih. Akan tetapi, Allah Ta’ala justru membuka
lebar-lebar pintu rizki kita sehingga kita dapat hidup berkecukupan.
Saudaraku, tidakkah kita khawatir bahwa ini adalah bentuk istidroj (tipuan)
dari Allah Ta’ala sehingga kita semakin durhaka kepada-Nya dengan harta
yang kita miliki? Atau tidakkah kita khawatir bahwa ini adalah ujian
dari Allah kepada kita, sehingga Allah mengetahui mana di antara
hamba-Nya yang bersyukur dan mana yang kufur? Atau apakah kita justru
akan tertipu sehingga kita merasa aman dari adzab Allah dan
terus-menerus berbuat maksiat karena menyangka bahwa Allah mencintai
kita dengan dilancarkan rizkinya? Wallahul musta’an.
***
Selesai disempurnakan di pagi hari, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 14 Jumadil Akhir 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 5.
[2] Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 367.
[3] Tafsir Jalalain, 1/275.
[4] Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarfuhu, hal. 29.
[5] Kitaabul ‘Ilmi, hal. 27.
[6] HR. Bukhari dan Muslim.
[7] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal. 6.
[8] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 6.
___
Artikel Muslim.Or.Id
Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khair
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan.